Minggu, 14 Juni 2009

SKRINING JENIS DAN KONSENTRASI HORMON TUMBUH DALAM MENGINDUKSI

SKRINING JENIS DAN KONSENTRASI HORMON TUMBUH DALAM MENGINDUKSI

KALUS DAN SINTESA KURKUMIN TEMULAWAK SECARA In Vitro

Fransiska Leviana dan Yudi Rinanto

ABSTRAK

Tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb) digunakan untuk mengobati gangguan hati dan penyakit kuning. Kandungan utama dari tanaman temulawak yang mempunyai aktivitas farmakologi adalah kurkumin. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengetahui jenis hormon tumbuh yang paling baik di dalam menginduksi kalus eksplan temulawak dan meningkatkan sintesa kurkumin dalam kalus temulawak. Hal ini penting mengingat sedikitnya kandungan kurkumin yang terdapat dalam rimpang temulawak secara alamiah

Bagian tanaman temulawak yang digunakan sebagai eksplan adalah tunas yang tumbuh pada rimpang temulawak. Tunas ditanam dalam media MS dengan penambahan variasi hormon 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid), NAA (1-naphthylacetic acid), FAP(6-furfurylaminopurine), BAP (6-benzylaminopurine) dengan konsentrasi 2 mg/l, 3 mg/l, 4 mg/l, campuran 2,4-D dan FAP, serta campuran NAA dan FAP masing-masing dengan kadar 2 mg/l : 4 mg/l, 3 mg/l : 3mg/l, 4 mg/l : 2 mg/l. Evaluasi terhadap keberhasilan pembentukan kalus dilakukan berdasarkan prosentase keberhasilan dan waktu induksi kalus. Kandungan kurkumin kalus dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan reaksi warna dan secara KLT (kromatografi lapis tipis) dengan fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform : etanol 96%: asam asetat glasial (94:5:1) dan dideteksi pada sinar tampak. Analisis kuantitatif dilakukan dengan mengukur luas area bercak pada kromatogram KLT dengan TLC scanner, lalu dihitung menggunakan persamaan regresi kurva baku kurkumin standar.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penggunaan hormon 2,4-D dengan kadar 4 mg/l pada media MS paling baik dalam menginduksi kalus temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan meningkatkan sintesis kurkumin sebesar 0,8969 mg/l.

Kata kunci : Curcuma xanthorrhiza Roxb, kalus, kurkumin, 2,4-dichlorophenoxyacetic acid, 1-naphthylacetic acid, 6-Fufurylamino purine, 6-benzylaminopurine

ABSTRACT

Curcuma xanhtorrhiza Roxb used to treat hepatitis and icterus. The main content of temulawak used as medicine is curcumin. The experiment was done to know the kind and concentration of hormone to induce callus formation and to increase curcumin content in the callus of Curcuma xanhtorrhiza Roxb. This was very important because the curcumin content in the rhizome was low.

The part of Curcuma xanhtorrhiza Roxb plant used for explant was young bud that grew on Curcuma xanhtorrhiza Roxb rhizome. The explant was planted in Murashige Skoog medium using various concentrations of 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid), NAA (1-naphthylacetic acid), FAP(6-furfurylaminopurine), BAP (6-benzylaminopurine) with concentration 2 mg/l, 3 mg/l, 4 mg/l, respectively, the combination of 2,4-D with FAP and NAA with FAP (2 mg/l : 4 mg/l, 3 mg/l : 3mg/l, 4 mg/l : 2 mg/l. ). The evaluation of the success of callus growth was done by procentage of succed and callus induction time. The callus curcumin content was analized by qualitative and quantitative. The qualitative analysis was done by color reaction and TLC with silica gel GF254 as stationary phase and chloroform : ethanol 96% : glacial acetic acid (94:5:1) as mobile phase and was detected with visible light. Then quantitative analysis was done by measuring of peak area with TLC scanner, then curcumin content was counted based on standard curcumin curve.

The results showed that 4 mg/l 2,4-D concentration in MS medium give the best induced Curcuma xanthorrhiza Roxb callus formation and increase curcumin content in the callus 0,8969 mg/l.

Keywords: Curcuma xanthorrhiza Roxb, kalus, kurkumin, 2,4-dichlorophenoxyacetic acid, 1-naphthylacetic acid, 6-Fufurylamino purine, 6-benzylaminopurine

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dikenal sebagai tanaman dengan beraneka khasiat dan manfaat sebagai obat, sumber karbohidrat, bahan penyedap masakan dan minuman, pewarna alami makanan dan minuman, sebagai bahan kosmetik serta dipercaya sebagai tanaman asli Indonesia. Berdasarkan penelitian dan pengalaman empiris, temulawak dapat menyembuhkan berbagai penyakit di antaranya hepatitis, asma, kembung, sembelit, sariawan, demam, serta dapat menurunkan kolesterol. Semua bagian tanaman temulawak dapat dimanfaatkan, sehingga mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.

Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkuminoid, pati, lemak, protein, selulosa, minyak atsiri dan mineral. Kurkuminoid temulawak terdiri atas dua komponen yaitu kurkumin dan desmetoksi kurkumin (Stahl, 1985). Yang paling banyak digunakan dalam industri obat adalah kurkumin. Kurkumin bersifat antibakteri dan antiinflamasi serta membantu sekresi empedu (Afifah, 2003). Kurkumin telah terbukti secara ilmiah melalui berbagai pengujian praklinik dan klinik, berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, stroke, reumatik, sebagai antioksidan yang mengikat radikal bebas, penurun kadar lipid darah, meluruhkan plak pada otak penderita penyakit Alzheimer, kemampuan memerangi sel kanker dan infeksi virus maupun bakteri (Bermawie et al, 2006).

Kurkumin merupakan senyawa metabolit sekunder sehingga oleh tanaman disintesa dalam jumlah yang sedikit. Mengingat kurkumin merupakan metabolit sekunder yang paling utama dimanfaatkan di dalam rimpang temulawak maka perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan potensi produksi kurkumin dalam temulawak, salah satu caranya adalah dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk menginduksi produksi senyawa metabolit sekunder dalam tanaman (Kyte et al, 1996; Trigiano and Gray. 1996; Tiburcio et al, 1985).

Selama ini belum banyak publikasi ilmiah mengenai penggunaan teknik kultur jaringan untuk tanaman temulawak. Hal ini dikarenakan perbanyakan tanaman temulawak menggunakan rimpang secara konvensional tidak mengalami banyak kendala. Tetapi cara demikian tidak banyak berpengaruh terhadap perbaikan sifat tanaman temulawak dalam hal peningkatan kandungan kurkumin, karena perbanyakan dengan menggunakan rimpang (vegetatif) tidak mengubah sifat genetis tanaman.

Usaha perbaikan sifat tanaman temulawak dapat dilakukan menggunakan teknik kultur jaringan yang dimulai dengan induksi pembentukan kalus pada eksplan temulawak. Apabila kalus sudah berhasil diinduksi, maka kalus yang dihasilkan dapat digunakan sebagai materi penelitian lebih lanjut misalnya, digunakan sebagai bahan dasar kultur suspensi sel, fusi protoplast dan kultur kalus.

Pembentukan kalus pada eksplan merupakan langkah awal yang perlu diupayakan di dalam teknik kultur jaringan. Banyak faktor yang turut menentukan kecepatan pembentukan kalus di antaranya adalah spesies, umur, jenis eksplan, media tumbuh, dan hormon tumbuh. Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan induksi pembentukan kalus temulawak secara in vitro dengan cara pemberian hormon tumbuh ke dalam media.

Hormon tumbuh 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) dan NAA (1-naphthylacetic acid) merupakan kelompok Auxin yang berperan dalam menginduksi kalus. Konsentrasi yang digunakan bervariasi tergantung jenis tanaman misalnya pada tebu 1.0 – 3.0 mg/l, sedangkan pada kacang tanah 2.0 – 10.0 mg/l (George and Sherington, 1983). Belum ada data tentang konsentrasi optimum auksin untuk menginduksi kalus pada temulawak.

Pemberian auksin bersama-sama dengan sitokinin dengan proporsi berimbang dapat menginduksi pembentukan kalus, sehingga pada penelitian ini juga akan digunakan hormon FAP (6-Furfurylaminopurine) dan BAP (6-Benzylaminopurine) mewakili kelompok sitokinin. Konsentrasi FAP yang umum digunakan pada tanaman dikotil 0.1 – 1 ml/l (George and Sherington, 1983).

Produksi metabolit sekunder dapat ditingkatkan dengan penambahan hormon ke dalam media. Kurkumin merupakan metabolit sekunder hasil proses fisiologis yang disintesa tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit. Penambahan hormon ke dalam media tanam kecuali dapat mempengaruhi pembentukan kalus diduga juga dapat berpengaruh terhadap proses fisiologis, sehingga diasumsikan penambahan hormon eksogen (auksin dan sitokinin) akan mempengaruhi sintesa metabolit sekunder khususnya kurkumin. Penelitian ini juga ingin mengetahui apakah pemberian hormon auksin dan sitokinin dapat meningkatkan sintesa kurkumin dalam kalus temulawak.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Laminar Air Flow, lemari es, magnetic stirrer, timbangan analitik, autoklaf, oven, cawan petri, tabung reaksi, pinset, gunting, pisau, lampu spiritus (bunsen), pemanas air (kompor gas), indikator pH, sarung tangan, water bath, mikropipet, bak kromatografi, pipa kapiler, TLC-scanner Shimadzu CS-930 Jepang, dan peralatan gelas.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah eksplan tunas temulawak yang sudah berkecambah dan berumur 1 bulan. Media dasar yang digunakan adalah MS (Murashige Skoog). Hormon yang digunakan yaitu 2,4 –Dichlorophenoxyacetic acid, NAA (1-Naphthylacetic acid), FAP(6-Fufurilamino purine), BAP (6-Benzylaminopurine). Bahan untuk analisis kurkumin yaitu kurkumin standart ( dari Curcumin Research Center UGM), metanol, kloroform, etanol, NaOH, asam sulfat, asam asetat glasial yang berderajat pro analisis dari E-Merck.

Jalannya penelitian

1. Pembuatan media

Media yang digunakan pada penelitian ini adalah MS. Komponen-komponen media disiapkan sesuai dengan takaran masing-masing, aquades disiapkan secukupnya dan dibuat larutan induk (unsur makro dan mikro, sukrosa serta hormon). Semua komponen dilarutkan dalam aquades, disesuaikan pH larutan 5,6-5,8 dengan indikator pH, diteruskan dengan penambahan agar dan dididihkan. Campuran ini dibagi-bagi ke dalam botol-botol kultur dengan volume masing-masing 10 ml, ditutup rapat dengan alumunium foil, kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit.

Hormon yang diberikan ke dalam media dasar MS dengan variasi konsentrasi sebagai berikut :

1. K0 = Kontrol (tanpa hormon) 11.K10 = 2 mg/l 2,4-D + 4 mg/l FAP

2. K1 = 2 mg/l 2,4-D 12.K11= 3 mg/l 2,4-D + 3 mg/l FAP

3. K2 = 3 mg/l 2,4-D 13.K12= 4 mg/l 2,4-D + 2 mg/l FAP

4. K3 = 4 mg/l 2,4-D 14.K13= 2 mg/l NAA + 4 mg/l FAP

5. K4 = 2 mg/l NAA 15.K14= 3 mg/l NAA + 3 mg/l FAP

6. K5 = 3 mg/l NAA 16.K15= 4 mg/l NAA + 2 mg/l FAP

7. K6 = 4 mg/l NAA 17.K16= 2 mg/l BAP

8. K7 = 2 mg/l FAP 18.K17= 3 mg/l BAP

9. K8 = 3 mg/l FAP 19.K18= 4 mg/l BAP

10.K9 = 4 mg/l FAP

Catatan : 1. 2,4-D 2 mg/l ≈ 9,05 µM; 3 mg/l ≈ 13,57 µM; 4 mg/l ≈ 18,10 µM

2. NAA 2 mg/l ≈ 10,74 µM; 3 mg/l ≈ 16,11 µM; 4 mg/l ≈ 21,48 µM

3. FAP 2 mg/l ≈ 9,29 µM; 3 mg/l ≈ 13,94 µM; 4 mg/l ≈ 18,58 µM

4. BAP 2 mg/l ≈ 8,88 µM; 3 mg/l ≈ 13,32 µM; 4 mg/l ≈ 17,76 µM

2. Sterilisasi alat dan ruang

2.1. Sterilisasi ruang (LAF). Ruang dalam LAF dibersihkan dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 90%, lalu tutup semua pintu kaca. Sumber listrik utama dinyalakan dan lampu UV dinyalakan selama kurang lebih 2 jam sebelum bekerja.

2.2. Sterilisasi alat dan media. Sterilisasi media, alat (pinset, pisau, cawan petri) yang dibungkus kertas sebelumnya dilakukan dengan autoklaf. Sterilisasi dilakukan pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm sterilisasi selama 30 menit.

3. Sterilisasi dan penanaman eksplan

3.1. Sterilisasi eksplan. Rimpang temulawak yang bertunas dicuci di bawah air mengalir, kemudian tunas dipisahkan dari rimpangnya direndam dalam detergent selama 5 menit sambil digojok, dan dibilas dengan aquadest steril. Sterilisasi tunas dengan larutan Dithane selama 30 menit kemudian dibilas dengan aquadest steril sebanyak 3 kali. Tunas lalu dicelupkan dalam etanol 70 % (1 menit), lalu direndam 10 menit dalam larutan 30% Bayclin® yang ditambah 2 tetes tween 80, dibilas dengan aquadest steril, dilanjutkan dalam larutan 15% Bayclin® yang ditambah 2 tetes tween 80 selama 10 menit sambil digojok, lalu dibilas dengan aquadest steril lalu dalam larutan 10% (v/v) Bayclin yang ditambah 2 tetes tween 80 selama 10 menit, setelah itu tunas dibilas aquadest steril sebanyak 3 kali masing-masing digojok selama 5 menit. Tunas ditiriskan di atas petridish dan siap untuk ditanam.

3.2. Penanaman eksplan. Eksplan dipotong-potong seluas 1×1 cm² di atas cawan petri steril. Eksplan kemudian ditanam pada media kultur. Kultur dipelihara dalam ruang inkubasi pada suhu ruang.

4. Evaluasi pertumbuhan kalus

4.1. Prosentase keberhasilan, dilakukan dengan cara menghitung jumlah eksplan yang berhasil membentuk kalus dibagi dengan jumlah seluruh eksplan yang ditanam.

4.2. Waktu eksplan membentuk kalus, dilakukan dengan cara mengamati waktu eksplan mulai membentuk kalus.

5. Analisis kurkumin

5.1. Pembuatan larutan standar. Larutan standar yang digunakan adalah larutan kurkuminoid dengan konsentrasi 50 mg/l. Sebanyak 20 mg kurkuminoid standar dilarutkan hingga 10,0 ml dengan metanol (p.a) hingga didapat konsentrasi 2000 mg/l, kemudian dibuat enam seri konsentrasi sebanyak 5,0 ml yaitu 50, 100, 200, 400, 800, 1600 mg/l.

5.2. Pembuatan larutan uji. Kalus dikeringkan pada suhu 50°C. Kalus kering ditumbuk sampai menjadi serbuk halus. Serbuk kering diekstraksi dengan metanol sampai residu tak berwarna kuning. Sari yang dihasilkan diuapkan metanolnya sehingga diperoleh ekstrak kering. Ekstrak yang diperoleh kemudian dilarutkan dengan metanol (p.a) sampai 5,0 ml di labu takar. Cara yang sama juga dilakukan terhadap serbuk rimpang dan tunas temulawak.

5.3. Analisis kualitatif kurkumin. Analisis kualitatif kandungan kurkumin dilakukan secara KLT (kromatografi lapis tipis). Analisis kurkumin menggunakan silika gel GF254 sebagai fase diam. Ekstrak metanol kalus, rimpang dan tunas temulawak sebanyak 2 µl ditotolkan pada pelat dengan menggunakan mikropipet. Lempeng fase diam dikembangkan dalam bejana kromatografi yang jenuh dengan larutan kloroform : etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1) sebagai fase gerak. Bercak diamati pada sinar tampak dan akan terlihat warna kuning. Bercak sampel dianalisis berdasarkan nilai hRf dan warnanya terhadap bercak baku kurkumin.

5.4. Analisis kuantitatif kurkumin

5.4.1. Penetapan kurva baku kurkumin. Keenam seri konsentrasi kurkumin baku ditotolkan 2 µl pada fase diam silika gel GF254 dikembangkan pada fase gerak kloroform : etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1). Luas area bercak kemudian diukur dengan TLC scanner pada panjang gelombang maksimum 425 nm lalu dibuat regresi linier antara μg kurkumin dan luas area bercak.

5.4.2. Penetapan kadar kurkumin. Bercak kalus, rimpang, dan tunas pada analisis KLT diukur luas areanya dengan alat TLC scanner. Luas area kurkumin kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi yang diperoleh dari perhitungan regresi linier kurva baku.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Evaluasi pertumbuhan kalus

Keberhasilan pertumbuhan kalus dinyatakan dengan prosentase keberhasilan pertumbuhan kalus. Penentuan prosentase keberhasilan dilakukan dengan menghitung jumlah eksplan yang berhasil membentuk kalus dibagi dengan jumlah keseluruhan eksplan yang ditanam dikalikan 100%. Eksplan yang paling berhasil tumbuh kalus adalah eksplan yang ditanam pada campuran hormon 2,4-D 3 mg/l dan FAP 3 mg/l (Tabel 1).

Pertumbuhan kalus sangat dipengaruhi oleh adanya hormon. Hormon merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam jumlah kecil mampu menghasilkan respon secara biokimia, fisiologis, dan morfologis. Hormon yang digunakan pada penelitian ini adalah hormon auksin (2,4-D dan NAA) dan sitokinin (FAP dan BAP). Hormon ini sangat mempengaruhi waktu pembentukan kalus atau waktu induksi kalus (Tabel 1). Dengan pemberian jenis hormon dan konsentrasi hormon yang berbeda, waktu induksi kalus yang dihasilkan pun menunjukkan perbedaan.

Tabel 1. Prosentase keberhasilan pertumbuhan dan waktu induksi kalus temulawak pada media MS dengan penambahan beberapa jenis dan kadar hormon yang berbeda

No

Perlakuan

Keberhasilan pertumbuhan kalus (%)

Rata-rata waktu induksi kalus (hari)

No

Perlakuan

Keberhasilan pertumbuhan kalus (%)

Rata-rata waktu induksi kalus (hari)


1

K0

60

30

11

K10

30

30,7



2

K1

50

29,2

12

K11

80

29,4


3

K2

30

26,7

13

K12

50

26,8


4

K3

50

24,6

14

K13

70

30,1


5

K4

50

28,2

15

K14

30

30,7


6

K5

50

27,6

16

K15

70

26,6


7

K6

40

26,5

17

K16

30

31,7


8

K7

60

30,2

18

K17

40

29,8


9

K8

30

31

19

K18

40

30,5


10

K9

30

30,7


Catatan : Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali

Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan hormon auksin secara tunggal, baik 2,4-D maupun NAA, menghasilkan waktu induksi kalus yang lebih cepat dibandingkan kontrol (tanpa hormon); sedangkan penambahan hormon sitokinin secara tunggal, baik FAP maupun BAP, menghasilkan waktu induksi kalus yang lebih lambat dibanding kontrol (tanpa hormon). Semakin tinggi kadar hormon auksin yang diberikan semakin cepat waktu induksi kalus, sedangkan pada penambahan sitokinin tidak terlihat adanya hubungan lurus antara kadar dan waktu induksi kalus.

Penambahan kombinasi hormon auksin dan sitokinin juga mempengaruhi waktu induksi kalus. Penambahan dengan kadar auksin yang lebih besar dari sitokinin menghasilkan waktu yang paling cepat seperti terlihat pada Tabel 1. Namun, ternyata pengkombinasian auksin dengan sitokinin tidak mampu menginduksi kalus dengan lebih baik dibandingkan pemberian auksin tunggal.

Oleh sebab itu, pembentukan kalus temulawak diinduksi oleh pemberian kadar auksin yang lebih tinggi.

2. Pemanenan kalus

Pemanenan dilakukan setelah kalus yang terbentuk siap untuk dipanen, ditunjukkan dengan eksplan yang telah ditumbuhi kalus secara menyeluruh. Hasil penimbangan kalus dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Berat kalus basah dan kering

No

Perlakuan

Berat kalus basah (g)

Berat kalus kering (g)

No

Perlakuan

Berat kalus basah (g)

Berat kalus kering (g)


1

K0

3,833

0,230

11

K10

4,067

0,244



2

K1

2,512

0,316

12

K11

7,646

0,523


3

K2

4,750

0,285

13

K12

5,335

0,398


4

K3

3,052

0,181

14

K13

4,645

0,598


5

K4

3,960

0,150

15

K14

3,517

0,211


6

K5

8,091

0,630

16

K15

3,604

0,421


7

K6

4,400

0,264

17

K16

2,221

0,210


8

K7

4,243

0,406

18

K17

3,250

0,232


9

K8

3,447

0,189

19

K18

2,583

0,155


10

K9

3,074

0,235


Berat kalus kering lebih kecil daripada kalus basah (Tabel 2) disebabkan saat pengeringan kalus basah mengalami penyusutan karena kehilangan kandungan air. Berat kalus yang diperoleh dipengaruhi oleh pertumbuhan kalus dan prosentase keberhasilan kultur jaringan. Kalus pada media dengan penambahan campuran hormon 2,4-D 3 mg/l dan FAP 3 mg/l memiliki berat yang paling tinggi.

3. Analisis kurkumin

3.1. Analisis kualitatif. Analisis secara KLT digunakan untuk mengidentifikasi kandungan kurkumin dalam ekstrak kalus, tunas dan rimpang temulawak. Kurkumin standar juga ditotolkan sebagai pembanding.

desmetoksi kurkumin

kurkumin

Gambar 1. Kromatogram standar kurkumin, tunas, kalus dan rimpang temulawak dengan fase diam

silikagel GF254, fase gerak kloroform : etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1) pada sinar

tampak.

Tabel 4. Data kromatogram kurkumin standar standart, ekstrak kalus, tunas dan rimpang temulawak

pada fase diam silika gel GF254 dan fase gerak kloroform : etanol 96% : asam asetat glasial

(94:5:1)

Bahan

Bercak

hRf

Warna bercak

(Sinar tampak)

Senyawa

Kurkumin standar

I

46

Kuning kecoklatan

Kurkumin

Tunas

I

46

Kuning

Kurkumin

temulawak

II

30

Kuning

Desmetoksi kurkumin

Kalus

I

46

Kuning kecoklatan

Kurkumin

temulawak

II

30

Kuning kecoklatan

Desmetoksi kurkumin

Rimpang

I

46

Kuning kecoklatan

Kurkumin

temulawak

II

30

Kuning kecoklatan

Desmetoksi kurkumin

Profil kromatogram pada Gambar 6 menunjukkan hasil pemisahan kandungan kurkuminoid pada temulawak. Bercak pada kalus, tunas dan rimpang temulawak hanya memperlihatkan 2 bercak karena komponen kurkuminoid temulawak terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin (Stahl, 1985).

Bercak kurkumin terlihat memiliki harga hRf yang lebih tinggi dibandingkan desmetoksi kurkumin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur kedua senyawa (Gambar 2) dimana kurkumin memiliki lebih banyak gugus metoksi (-OCH3) sehingga kurkumin bersifat lebih nonpolar dibandingkan desmetoksi kurkumin. Akibatnya kurkumin lebih terelusi mengikuti fase gerak dibandingkan desmetoksi kurkumin.

a) b)

Gambar 2. Struktur kurkumin a) dan desmetoksi kurkumin b) (Stahl, 1985).

Penampakan bercak dilakukan pada sinar tampak. Hal ini disebabkan kurkumin memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang cukup panjang sehingga pada sinar tampak terlihat adanya warna. Kalus dan rimpang temulawak terlihat berwarna kuning kecoklatan, sedangkan tunas temulawak berwarna kuning. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan kandungan kurkumin pada bercak. Semakin tinggi kandungan kurkuminnya, maka intensitas warnanya akan lebih intensif.

Berdasarkan kesamaan nilai hRf dan warna bercak dengan kurkumin standar, maka terbukti bahwa kalus, tunas dan rimpang temulawak mengandung kurkumin.

6.2. Analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif kurkumin dilakukan secara densitometri. Prinsip metode ini adalah kurkumin dipisahkan dari senyawa lain secara KLT, lalu luas area bercak diukur menggunakan TLC scanner. Pengukuran luas area ini didasarkan pada kemampuan kurkumin menyerap sinar ultraviolet yang disebabkan oleh adanya gugus kromofor pada kurkumin. Luas area bercak akan berbanding lurus dengan kadar kurkumin. Semakin tinggi kadar kurkumin maka semakin luas pula area bercaknya (Tabel 5).

Tabel 5. Data luas area bercak kurkumin standar pada 6 seri konsentrasi

Kadar kurkumin

(mg/l)

Volume penotolan (μl)

Berat kurkumin yang ditotolkan (μg)

Luas area bercak

50

2

0,1

26.614

100

2

0,2

97.063

200

2

0,4

244.709

400

2

0,8

362.938

800

2

1,6

563.695

1600

2

3,2

1.075.330

Kurva baku kurkumin memiliki persamaan garis linier (μg kurkumin vs luas area bercak), yaitu y = 321.877,6 + 57.086,8 dengan koefisien korelasi (r) = 0,9928 (Gambar 3). Persamaan ini kemudian akan digunakan untuk menghitung kadar kurkumin dalam kalus temulawak.

Text Box: y = 321.877,6 + 57.086,8

Gambar 4. Kurva baku kurkumin.

Hasil penetapan kadar kurkumin pada kalus yang diberi perlakuan hormon ditampilkan pada Tabel 6. Penetapan kadar kurkumin juga dilakukan tunas dan rimpang temulawak. Keduanya digunakan untuk membandingkan kemampuan sintesa kurkumin pada kalus. Tunas merupakan bahan awal penanaman pada media, sedangkan rimpang merupakan bagian penghasil kurkumin yang paling optimal pada temulawak.

Tabel 6. Hasil penetapan kadar kurkumin dalam rimpang, tunas, dan kalus temulawak

Bahan

Perlakuan

Rata-rata kadar kurkumin (%) *)

Rimpang

-

0,6157

Tunas

-

0,2226

Kalus

K0

0,2425

K1

0,2476

K2

0,3647

K3

0,8969

K4

0,1729

K5

0,0612

K6

0,2445

K7

0,2547

K8

0,4212

K9

0,4620

K10

0,2032

K11

0,1768

K12

0,1307

K13

0,3321

K14

0,1024

K15

0,4044

K16

0,1670

K17

0,1100

K18

0,1575

Catatan : *) Kadar kurkumin dihitung terhadap bobot kering bahan dan data

kadar merupakan rata-rata dari 3 kali ulangan.

Kadar kurkumin pada tunas terlihat lebih rendah daripada rimpang temulawak. Hal ini disebabkan jaringan yang muda belum optimal dalam mensintesis metabolit sekunder, khususnya kurkumin. Kadar kurkumin pada tunas dan kalus dari media tanpa hormon menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, artinya aplikasi kultur jaringan tanpa penambahan hormon tidak mampu meningkatkan kadar kurkumin.

Kadar kurkumin pada kalus dengan variasi hormon menunjukkan perbedaan pula. Pada kalus yang tumbuh pada penambahan hormon auksin, kurkumin yang dihasilkan dengan penambahan 2,4-D lebih banyak daripada penambahan NAA, sedangkan pada hormon sitokinin, kurkumin lebih tinggi kadarnya dengan penambahan FAP daripada BAP. Namun, kombinasi 2,4-D bersama dengan FAP ternyata tidak mampu meningkatkan kadar kurkumin pada kalus. Jadi, penggunaan auksin secara tunggal ternyata lebih baik dalam meningkatkan sintesa kurkumin daripada kombinasinya dengan sitokinin.

Penggunaan hormon pada media kultur dapat mempengaruhi induksi kalus dan sintesa kurkumin temulawak. Kurkumin yang paling optimal dihasilkan pada kalus dari penanaman dengan penambahan hormon 2,4-D dengan kadar 4 mg/l, bahkan kadarnya melebihi kadar kurkumin dalam rimpang temulawak.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penggunaan hormon 2,4-D dengan kadar 4 mg/l pada media Murashige-Skoog mampu menginduksi kalus temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan meningkatkan sintesa kurkumin terbaik sebesar 0,8969.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti yang telah membiayai penelitian ini melalui program penelitian dosen muda.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta.

Ahloowalia BS. 1982. Plant regeneration from callus cultures in wheat. Jou. Crop Sci. (22):405–410

Anonim. 1987. Analisis Obat Tradisional. Depkes RI. Jakarta.

Anonim. 2004. Monograph of Indonesian Medicinal Plant Extracts. Vol 1. BPOM RI. Jakarta.

Bahieldin A, Dyer WE, Qu R. 2000. Concentration effects of dicamba on shoot regeneration in wheat. Jou. Plant Breed. (119):437–439.

Carvalho CHS, Bohorova N, Bordallo PN, Abreu LL, Valicente FH, Bressan W, Paiva E. 1997. Type II callus production and plant regeneration in tropical maize genotypes. Jou. Plant Cell Rep. (17):73–76.

Dalimartha S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus Agriwidya.

George EF, Sherrington PD. 1983. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetic Press Inc. England.

Gonzalez JM, Friero E, Jouve N. 2001. Influence of genotype and culture medium on callus formation and plant regeneration from immature embryos of Triticum turgidum Desf. Cultivars. Jou. Plant Breed. (120):513–517

Haberer G, Kieber JJ. 2002. Cytokinins: new insights into a classic phytohormone. Plant Physiol (128): 354–362

Immonen AST. 1996. Influence of media and growth regulators on somatic embryogenesis and plant regeneration for production of primary triticales. Jou. Plant Cell Tissue Organ Cult. (44):45–52

Kyte, Lydiane, Kleyn J. 1996. Plants from Test Tubes: An Introduction to Micropropagation, 3rd Ed., Timber Press

Kandasamy MK, Gilliland LU, McKinney EC, Meagher RB. 2001. One plant actin isovariant, ACT7, is induced by auxin and required for normal callus formation. Jou. The Plant Cell. (13):1541-1554

Mendoza MG, Kaeppler HF. 2002. Auxin and sugar effects on callus induction and plant regeneration frequencies from mature embryos of wheat (Triticum aestivum L.). In Vitro Cell. Dev. Biol. Jou. Plant (38):39–45

Özgen M, Turet M, Altmok S, Sancak C. 1998. Efficient callus induction and plant regeneration from mature embryo culture of winter wheat (Triticum aestivum L.) genotypes. Jou. Plant Cell Rep. (18):331–335

Papenfuss JM, Carman JG. 1987. Enhanced regeneration from wheat callus cultures using dicamba and kinetin. Jou.Crop Sci. (27):588–593

Przetakiewicz A, Orczyk W, Nadolska-Orczyk A. 2003. The effect of auxin on plant regeneration of wheat, barley and triticale. Jou. Plant Cell Tiss. Org. Cult. (73):245–256

Rukmana R. 1995. Temulawak, Tanaman Rempah dan Obat. Kanisius. Yogyakarta.

Satyavathi VV, Jauhar PP, Elias EM, Rao MB. 2004. Effects of growth regulators on in vitro plant regeneration in Durum Wheat. Jou. Crop Sci. (44):1839-1846.

Sigma Biosciences. 1996. Plant culture catalogue. Products, equipment, and technical information. Sigma Aldrich Pvt Ltd., NSW, Australia

Stahl E. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopis. ITB. Bandung. (Terjemahan)

Tiburcio AF, Kaur-Sawhney R, Ingersoll RB, Galston AW. 1985. Correlation between polyamines and pyrrolidine alkaloids in developing Tobacco callus. JouPlantPhysiology (78):323-326

Trigiano RN, Gray DJ. 1996. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercises. CRC Press

Tonnesen HH. 1986. Chemistry, Stability and Analysis of Curcumin. Institute of Pharmacy University of Oslo. Norway.

Wagner H, Bladt S, Zgainski. 1984. Plant Drug Analysis : A Thin Layer Chromatografi Atlas. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg. New York.

Werner T, Motyka V, Strnad M, Schmülling T. 2001. Regulation of plant growth by cytokinin. Proc Natl Acad Sci USA (98):10478–10492

Zhang K, Diederich L, John PCL. 2005. The cytokinin requirement for cell division in cultured Nicotiana plumbaginifolia cells can be satisfied by yeast Cdc25 protein tyrosine phosphatase. Implications for mechanisms of cytokinin response and plant development. Jou.Plant Physiology (137):308-316

Tidak ada komentar:

Posting Komentar